Thursday, March 22, 2012

Akar Minus Satu


Rintik-rintik air dari langit tanpa segan berhenti di jendela kaca bis yang sedang kunaiki. Menciptakan lukisan abstrak yang tak kumengerti dengan berbentuk titik-titik yang berjarak dan agak menyebar. Hari ini, aku pulang. Senang. Yaa, harusnya memang begitu. Dan awalnya memang begitu. Lantas mengapa ? 
Kubuka tasku, mengambil handphone, menutupnya kembali. Aku perintahkan jemari kecilku menari dengan sentuhan tekanan pada keypad kemudian berhenti ketika tulisan pada layar yang kulihat bertuliskan ‘facebook’. Setelah sign in, langsung saja aku menuju daftar pencarian dan kuketik sebuah nama di situ. Bola mataku tertuju pada sebuah status baru dari sang empunya. 
“Akar minus 1, serahkan pada sang pencipta, biarlah Dia yg menentukan,

al-kimya...” 

Robbi ku… apa yang tengah terjadi ? Seketika perhatianku kini hanya terpusat pada kalimat itu. Bingung, tak mengerti atau memang aku yang terlalu naïf ? atau aku memang tak ingin mengerti ? entahlah. Kata ‘akar minus satu’ adalah aku. Sedangkan ‘al-kimya’ yang tak lain adalah dia. Kucoba memahami apa yang tengah kurasakan dalam hatiku. Sakit? Kurasa tidak. Marah? Tak mungkin. Tak berdaya aku untuk marah kepadanya. Sesedih apapun, sekakit apapun. Aku tak bisa marah kepadanya. Dan yang lebih tak mungkin adalah karena memang tak seharusnya aku marah. Terlebih lagi ketika kupandang diriku. Siapa aku sehingga begitu beraninya. Sedih? Aahh…. Memang kata ini yang tengah menyelimuti hatiku saat ini. Dan sesungguhnya hanya itu yang bisa kukatakan untuk menggambarkan apa yang sedang kurasakan saat ini. Karena memang aku tak mampu untuk menerangkannya lebih. Bahkan akupun tak mengerti. Sebuah perasaan apakah ini yaa Robb.. sedih.. namun aku yakin lebih dari itu, ada yang lain. 
Air dipelupuk mata tak mampu lagi bertahan. Jatuh. Air mataku tak mampu membasahi pipiku, karena tertahan oleh cadar yang kukenakan. Kuseka ia. Selain tak kubiarkan cadarku menjadi basah aku juga tak boleh menangis. Kuat. Harus kuat. Meskipun aku tak tahu harus senang atau sedihkah aku karena perkataannya itu? Tapi hatiku memilih yang kedua. Kupakasakan diri untuk mencari kesalahan yang ada pada diriku. Mungkin terlalu banyak, hingga aku tak layak. Atau mungkin memang begitu adanya? Benar. Aku tak layak untuk sosok seperti dia. Sekali lagi-siapa diriku-hingga berani memendam perasaan fitrah untuknya. Karena Allaah. Karena Allaah. 
Kupejamkan mataku dalam-dalam. Kembali aku mulai berbalik berprasangka. Mungkin ini awal yang baik. Mungkin dia ingin yang terbaik. Mungkin dia ingin lebih bisa menjaga. Seperti sebelum-sebelumnya. Kala sikapnya yang terkadang berubah menurutku. Namun hatiku terus merangkai berbagai sugesti positif. Dan yang paling utama adalah, prasangkaku kepada Yang Menciptakanku. Sang Maha Suci. Karena dia dan tentu saja aku menginginkan yang halal. Jika ditinjau lagi memang tak ada hubungan khusus antara kami. Hanya saja, aku yang begitu lancang menyimpan ketulusan untuknya. 
Hatiku sedikit lebih tenang ketika prasangka-prasangka positif itu mulai mendominasi meskipun rasa sedih tak kunjung lenyap. Sepanjang perjalanan aku berfikir dalam renunganku. Aku kemudian akan lebih giat lagi agar menjadi ‘layak’ untuknya. Aku pasti bisa. Batinku. Aku tahu, Allaah-lah Yang Maha Menentukan. Tapi aku juga percaya tentang sebuah keyakinan. Aku yakin suatu saat akan terjadi sebuah janji suci antara kami. Aku yakin dia jodohku. Tak peduli aku dengan seenaknya mengklaim seperti itu. Karena aku yakin. Aku yakin akan hatiku. Aku yakin Tuhan Allaah Yang Maha Mendengar akan mewujudkan keyakinanku. Aku yakin dan aku berharap kepada Sang Khaliq.
Beberapa menit lagi aku akan sampai di rumah. Kalau biasanya aku turun di pintu pertama untuk masuk ke komplek perumahanku. Kali ini tidak. Ketika akan semakin dekat, aku berdiri dan berjalan menuju bagian depan bis. Beberapa orang menatapku. Aku tak peduli.
“Pak, berhenti di depan rumah dinas bupati pintu kedua yaa”
Pintu kedua. Jalan yang bisa kulalui agar bisa melewati rumahnya tanpa harus aku memutar. Jika sebelumnya aku akan berpikir beribu-ribu kali untuk melewati rumahnya saja. Tapi kali ini tanpa perlu aku berpikir panjang. Hal yang tak biasa bagiku. Melihat dia saja aku merasa malu. Tak berani. Bahkan aku pernah memilih untuk menghindar daripada aku harus bertemu. Aku tak mengerti mengapa. Yang jelas, aku merasa malu setiap ada dia. Meskipun aku melewati rumahnya dan tahu tak akan mungkin untuk melihatnya. Saat ini aku benar-benar mengambil keputusan itu. Hanya satu alasanku : agar hatiku tenang. 
Lampu temaram dipinggir jalan memberikan sinar yang cukup. Kemudian aku berjalan dan berjalan, pandanganku menunduk. Sampai aku tahu bahwa aku sebentar lagi akan mendekati, tepatnya melewati rumahnya. Kembali aku merasakan yang tak kuketahui ketika langkah kakiku perlahan melewati sebuah rumah dengan cat tembok berwarna putih itu. Sampai ketika berganti dengan rumah-rumah lain yang saling berdempetan aku….aku kembali merasa sedih.
Akhirnya aku tiba di rumah. Alhamdulillaah.. Engkau memberkatiku dengan keselamatan yaa Robb.. adikku yang paling kecil, senang meihatku datang. Merentangkan tangannya kearahku, meminta sebuah pelukan. Kupeluk ia, lalu tersenyum. Kutemui mama kemudian mencium tangannya. 
“Kak, adek uda hapal.” Dengan semangatnya adikku ingin menyetorkan hafalannya kepadaku.
“Besok yaa dek, kakak sekarang lagi cape.” Aku tersenyum. 
Sesungguhnya batinku lah yang sedang tak siap. Aku kembali termenung. Dan sebuah kata muncul dalam benakku. Terimakasih. Yaa, terimakasih sudah mengajarkanku lagi. Bahwa tidak semua berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Ada kalanya Allaah menghendaki kita melewati kerikil-kerikil dahulu. Mungkin saja ini salah satu kerikil itu. Kemudian terimakasih lagi. Karenanya aku menjadi lebih semangat untuk terus membenahi diri. Well, agar suatu saat apa yang kumohon kepada Allaah bukanlah menjadi harapan lagi, melainkan sebuah realita bahagia. Semoga. Selanjutnya terimakasih. Telah membuat aku semakin yakin akan perasaanku. Karena aku tak akan menyerah begitu saja. Dengan Allaah yang selalu bersamaku, karena Allaah Yang Maha Berkuasa, Hanya Allaah Yang Maha Pemilik Keputusan. Akan terus kutanam keyaninanku dalam hati ini. Menyuburkannya dengan usaha dan do’aku, serta senantiasa menyiraminya dengan prasangka baikku. Dengan mantap aku telah memilih. Bertahan. 

No comments:

Post a Comment