Rintik-rintik air dari langit
tanpa segan berhenti di jendela kaca bis yang sedang kunaiki. Menciptakan
lukisan abstrak yang tak kumengerti dengan berbentuk titik-titik yang berjarak
dan agak menyebar. Hari ini, aku pulang. Senang. Yaa, harusnya memang begitu.
Dan awalnya memang begitu. Lantas mengapa ?
Kubuka tasku, mengambil handphone,
menutupnya kembali. Aku perintahkan jemari kecilku menari dengan sentuhan
tekanan pada keypad kemudian berhenti ketika tulisan pada layar yang kulihat
bertuliskan ‘facebook’. Setelah sign in, langsung saja aku menuju daftar
pencarian dan kuketik sebuah nama di situ. Bola mataku tertuju pada sebuah
status baru dari sang empunya.
“Akar minus 1, serahkan pada sang
pencipta, biarlah Dia yg menentukan,
al-kimya...”
al-kimya...”
Robbi ku… apa yang tengah terjadi
? Seketika perhatianku kini hanya terpusat pada kalimat itu. Bingung, tak
mengerti atau memang aku yang terlalu naïf ? atau aku memang tak ingin mengerti
? entahlah. Kata ‘akar minus satu’ adalah aku. Sedangkan ‘al-kimya’ yang tak
lain adalah dia. Kucoba memahami apa yang tengah kurasakan dalam hatiku. Sakit?
Kurasa tidak. Marah? Tak mungkin. Tak berdaya aku untuk marah kepadanya.
Sesedih apapun, sekakit apapun. Aku tak bisa marah kepadanya. Dan yang lebih tak
mungkin adalah karena memang tak seharusnya aku marah. Terlebih lagi ketika
kupandang diriku. Siapa aku sehingga begitu beraninya. Sedih? Aahh…. Memang
kata ini yang tengah menyelimuti hatiku saat ini. Dan sesungguhnya hanya itu
yang bisa kukatakan untuk menggambarkan apa yang sedang kurasakan saat ini.
Karena memang aku tak mampu untuk menerangkannya lebih. Bahkan akupun tak
mengerti. Sebuah perasaan apakah ini yaa Robb.. sedih.. namun aku yakin lebih
dari itu, ada yang lain.
Air dipelupuk mata tak mampu lagi
bertahan. Jatuh. Air mataku tak mampu membasahi pipiku, karena tertahan oleh
cadar yang kukenakan. Kuseka ia. Selain tak kubiarkan cadarku menjadi basah aku
juga tak boleh menangis. Kuat. Harus kuat. Meskipun aku tak tahu harus senang
atau sedihkah aku karena perkataannya itu? Tapi hatiku memilih yang kedua. Kupakasakan
diri untuk mencari kesalahan yang ada pada diriku. Mungkin terlalu banyak,
hingga aku tak layak. Atau mungkin memang begitu adanya? Benar. Aku tak layak
untuk sosok seperti dia. Sekali lagi-siapa diriku-hingga berani memendam
perasaan fitrah untuknya. Karena Allaah. Karena Allaah.
Kupejamkan mataku dalam-dalam.
Kembali aku mulai berbalik berprasangka. Mungkin ini awal yang baik. Mungkin
dia ingin yang terbaik. Mungkin dia ingin lebih bisa menjaga. Seperti
sebelum-sebelumnya. Kala sikapnya yang terkadang berubah menurutku. Namun
hatiku terus merangkai berbagai sugesti positif. Dan yang paling utama adalah,
prasangkaku kepada Yang Menciptakanku. Sang Maha Suci. Karena dia dan tentu
saja aku menginginkan yang halal. Jika ditinjau lagi memang tak ada hubungan
khusus antara kami. Hanya saja, aku yang begitu lancang menyimpan ketulusan
untuknya.
Hatiku sedikit lebih tenang ketika
prasangka-prasangka positif itu mulai mendominasi meskipun rasa sedih tak
kunjung lenyap. Sepanjang perjalanan aku berfikir dalam renunganku. Aku
kemudian akan lebih giat lagi agar menjadi ‘layak’ untuknya. Aku pasti bisa.
Batinku. Aku tahu, Allaah-lah Yang Maha Menentukan. Tapi aku juga percaya
tentang sebuah keyakinan. Aku yakin suatu saat akan terjadi sebuah janji suci
antara kami. Aku yakin dia jodohku. Tak peduli aku dengan seenaknya mengklaim
seperti itu. Karena aku yakin. Aku yakin akan hatiku. Aku yakin Tuhan Allaah
Yang Maha Mendengar akan mewujudkan keyakinanku. Aku yakin dan aku berharap
kepada Sang Khaliq.
Beberapa menit lagi aku akan
sampai di rumah. Kalau biasanya aku turun di pintu pertama untuk masuk ke
komplek perumahanku. Kali ini tidak. Ketika akan semakin dekat, aku berdiri dan
berjalan menuju bagian depan bis. Beberapa orang menatapku. Aku tak peduli.
“Pak, berhenti di depan rumah
dinas bupati pintu kedua yaa”
Pintu kedua. Jalan yang bisa
kulalui agar bisa melewati rumahnya tanpa harus aku memutar. Jika sebelumnya
aku akan berpikir beribu-ribu kali untuk melewati rumahnya saja. Tapi kali ini
tanpa perlu aku berpikir panjang. Hal yang tak biasa bagiku. Melihat dia saja
aku merasa malu. Tak berani. Bahkan aku pernah memilih untuk menghindar
daripada aku harus bertemu. Aku tak mengerti mengapa. Yang jelas, aku merasa
malu setiap ada dia. Meskipun aku melewati rumahnya dan tahu tak akan mungkin
untuk melihatnya. Saat ini aku benar-benar mengambil keputusan itu. Hanya satu
alasanku : agar hatiku tenang.
Lampu temaram dipinggir jalan
memberikan sinar yang cukup. Kemudian aku berjalan dan berjalan, pandanganku
menunduk. Sampai aku tahu bahwa aku sebentar lagi akan mendekati, tepatnya
melewati rumahnya. Kembali aku merasakan yang tak kuketahui ketika langkah
kakiku perlahan melewati sebuah rumah dengan cat tembok berwarna putih itu. Sampai
ketika berganti dengan rumah-rumah lain yang saling berdempetan aku….aku
kembali merasa sedih.
Akhirnya aku tiba di rumah.
Alhamdulillaah.. Engkau memberkatiku dengan keselamatan yaa Robb.. adikku yang
paling kecil, senang meihatku datang. Merentangkan tangannya kearahku, meminta
sebuah pelukan. Kupeluk ia, lalu tersenyum. Kutemui mama kemudian mencium
tangannya.
“Kak, adek uda hapal.” Dengan
semangatnya adikku ingin menyetorkan hafalannya kepadaku.
“Besok yaa dek, kakak sekarang
lagi cape.” Aku tersenyum.
Sesungguhnya batinku lah yang
sedang tak siap. Aku kembali termenung. Dan sebuah kata muncul dalam benakku.
Terimakasih. Yaa, terimakasih sudah mengajarkanku lagi. Bahwa tidak semua
berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Ada kalanya Allaah menghendaki
kita melewati kerikil-kerikil dahulu. Mungkin saja ini salah satu kerikil itu.
Kemudian terimakasih lagi. Karenanya aku menjadi lebih semangat untuk terus
membenahi diri. Well, agar suatu saat apa yang kumohon kepada Allaah bukanlah
menjadi harapan lagi, melainkan sebuah realita bahagia. Semoga. Selanjutnya
terimakasih. Telah membuat aku semakin yakin akan perasaanku. Karena aku tak
akan menyerah begitu saja. Dengan Allaah yang selalu bersamaku, karena Allaah
Yang Maha Berkuasa, Hanya Allaah Yang Maha Pemilik Keputusan. Akan terus
kutanam keyaninanku dalam hati ini. Menyuburkannya dengan usaha dan do’aku,
serta senantiasa menyiraminya dengan prasangka baikku. Dengan mantap aku telah
memilih. Bertahan.
No comments:
Post a Comment